Ekologi Arsitektur
1.
Ekologi Arsitektur
1.1. Pengertian
Ekologi
Ekologi
yang pertama kali berasal dari seorang biologi Jerman Ernest Haeckel, 1869.
Berasal dari bahasa Yunani “Oikos” (rumah tangga) dan “logos” (ilmu), secara
harfiah ekologi berarti ilmu tentangg rumah tangga makhluk hidup. Yang
merupakan makhluk hidup adalah lingkungan hidupnya.
Menurut
Ernest Haeckle ekologi adalah “ilmu yang mempelajari seluk beluk ekonomi alam,
suatu kajian hubungan anorganik serta lingkungan organik di sekitarnya”.
Menurut C. Elton (1927) ekologi adalah ilmu
yang mengkaji sejarah alam atau perkehidupan alam (natural history) secara
ilmiah,
Menurut
Andrewartha (1961) ekologi adalah ilmu yang membahas penyebaran (distribusi)
dan kemelimpahan oraganisme.
Sedangkan Eugene P. Odum (1963) menyatakan
bahwa ekologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur dan fungsi alam. Charles
J.
Krebs
(1978) menyatakan ekologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji
interaksi-interaksi yang menentukan penyebaran dan kemelimpahan organisme.
Miller dalam Darsono (1995:16) ”Ekologi
adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara organisme dan sesamanya serta
dengan lingkungan tempat tinggalnya”
Odum
dalam Darsono (1995: 16) “Ekologi adalah kajian struktur dan fungsi alam,
tentang struktur dan interaksi antara sesame organism dengan lingkungannya dan
ekologi adalah kajian tentang rumah tangga bumi termasuk flora, fauna,
mikroorganisme dan manusia yang hidup bersama saling tergantung satu sama lain”
Resosoedarmo
dkk, (1985:1)“ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya”.
Subagja dkk, (2001:1.3). “Ekologi merupakan
bagian ilmu dasar”
Dapat
disimpulkan bahwa ekologi adalah ilmu dasar yang mempelajari tentang hubungan
timbal balik antar makhluk hidup dengan lingkungannya.
Sumber : http://ubaid-boyand.blogspot.co.id/2011/09/arti-kata-ekologi-menurut-beberapa-ahli.html (diakses tanggal : 21 September 2015)
Prinsip-prinsip ekologi tersebut antara lain:
1. Flutuation = Prinsip fluktuasi
menyatakan bahwa bangunan didisain dan dirasakan sebagai tempat membedakan
budaya dan hubungan proses alami. Bangunan seharusnya mencerminkan hubungan
proses alami yang terjadi di lokasi dan lebih dari pada itu membiarkan suatu
proses dianggap sebagai proses dan bukan sebagai penyajian dari proses,
lebihnya lagi akan berhasil dalam menghubungkan orang-orang dengan kenyataan
pada lokasi tersebut.
2. Stratification = Prinsip stratifikasi
menyatakan bahwa organisasi bangunan seharusnya muncul keluar dari interaksi
perbedaan bagian-bagian dan tingkat-tingkat. Semacam organisasi yang membiarkan
kompleksitas untuk diatur secara terpadu.
3. Interdependence (saling
ketergantungan) = Menyatakan
bahwa hubungan antara bangunan dengan bagiannya adalah hubungan timbal balik.
Peninjau (perancang dan pemakai) seperti halnya lokasi tidak dapat dipisahkan
dari bagian bangunan, saling ketergantungan antara bangunan dan
bagian-bagiannya berkelanjutan sepanjang umur bangunan.
1.2. Pengertian Arsitektur
Definisi Arsitektur Menurut Para Ahli
Berdasarkan kamus besar bahasa
Indonesia, kata arsitektur (architecture), berarti
seni dan ilmu membangun bangunan. Menurut asal kata yang membentuknya, yaitu
Archi = kepala, dan techton = tukang, maka architecture adalah karya kepala
tukang.
Amos Raport
menjelaskan bahwa arsitektur adalah segala macam pembangunan
yang secara sengaja dilakukan untuk mengubah lingkungan fisik dan
menyesuaikannya dengan skema-skema tata cara tertentu lebih menekankan pada unsur
social budaya.
Cornelis Van De Ven menyatakan
bahwa arsitektur berarti menciptakan ruang dengan cara yang benar-benar
direncanakan dan dipikirkan. Pembaharuan arsitektur yang berlangsung terus
menerus sebenarnya berakar dari pembaharuan konsep-konsep ruang.
Benjamin Handler
menyatakan bahwa arsitek adalah seniman struktur yang
menggunakan struktur secara estetis berdasarkan prinsip-prinsip struktur itu
sendiri.
Djauhari Sumitardja
menyebutkan bahwa arsitektur merupakan sesuatu yang dibangun
manusia untuk kepentingan badannya (melindungi diri dari gangguan) dan
kepentingan jiwanya (kenyamanan, ketenangan, dll).
Vitruvius menyebutkan
ada tiga aspek yang harus disintesiskan dalam arsitektur yaitu firmitas
(kekuatan atau konstruksi), utilitas (kegunaan atau fungsi) dan venustas
(keindahan atau estetika).
Brinckmann mengatakan
bahwa arsitektur merupakan kesatuan antara ruang dan bentuk. Arsitektur adalah
penciptaan ruang dan bentuk.
Buowkundige
menjelaskan arsitektur adalah mendirikan bangunan dari
segi keindahan (sedangkan mendirikan bangunan dari segi konstruksi disebut ilmu
bangunan).
1.3. Pengertian Ekologi Arsitektur
Atas dasar pengetahuan dasar-dasar ekologi
yang telah diuraikan, maka perhatian pada arsitektur sebagai ilmu teknik
dialihkan kepada arsitektur kemanusiaan yang memperhitungkan juga keselarasan
dengan alam dan kepentinagn manusia penghuninya. Pembangunan rumah atau tempat
tinggal sebagai kebutuhan kehidupan manusia dalam hubungan timbal balik dengan
lingkungan alamnya dinamakan arsitektur ekologis atau eko-arsitektur. (Krusche, Per et sl.
Oekologisches Bauen. Wiesbaden, Berlin 1982. Hlm.7 )
Arsitektur ekologis merupakan
pembangunan berwawasan lingkungan, dimana memanfaatkan potensi alam semaksimal
mungkin. Info lingkungan
Kualitas arsitektur biasanya sulit diukur,
garis batas antara arsitektur yang bermutu dan yang tidak bermutu. Kualitas
arsitektur biasanya hanya memperhatikan bentuk bangunan dan konstruksinya,
tetapi mengabaikan yang dirasakan sipengguna dan kualitas hidupnya. Apakah
pengguna suatu bangunan merasa tertarik.
Pola
Perencanaan Eko-Arsitektur selalu memanfaatkan
alam sebagai berikut :
§ Dinding,
atap sebuah gedung sesuai dengan tugasnya, harus melidungi sinar panas, angin
dan hujan.
§ Intensitas
energi baik yang terkandung dalam bahan bangunan yang digunakan saat
pembangunan harus seminal mungkin.
§ Bangunan
sedapat mungkin diarahkan menurut orientasi Timur-Barat dengan bagian
Utara-Selatan menerima cahaya alam tanpa kesilauan
§ Dinding
suatu bangunan harus dapat memberi perlindungan terhadap panas. Daya serap
panas dan tebalnya dinding sesuai dengan kebutuhan iklim/ suhu ruang di
dalamnya. Bangunan yang memperhatikan penyegaran udara secara alami bisa
menghemat banyak energi.
a.
Memberikan
kontribusi terhadap lingkungan sekitar untuk merawat sumber material lokal,dan
mengajak masyrakat untuk dapat memahami cara merawat, menggunakan serta
mamanfaatkan sumber material local
1.4. Unsur pokok arsitektur ekologi
a. Udara
Udara
untuk bernafas . hubungann erat antara udara pernafasan dan kehidupan adalah
pengalaman kehidupan manusia. Makin tercemar udara maka kualitas kehidupan
semakin menurun,
b. Air
Air
sebagai sumber kehidupan bagi makhluk hidup di muka bumi.
c. Api
Api
(energi), sebagai sumber energy dan sumber salah satu sumber kehidupan bagi
makhluk hidup.
d. Bumi
Bumi
menjadi sumber bahan baku dan menjadi tempat kehidupan makhluk hidup.
1.5. Dasar-dasar Arsitektur Ekologi
Arsitektur atau eko-arsitektur lebih indah, lebih
tepat guna dari pada gedung-gedung biasanya, yang menonjol adalah arsitektur
yang berkualitas tinggi. Kualitas biasanya sulit diukur dan ditentukan,
terlebih lagi dari bidang arsitektur. Dimana garis batas antara arsitektur yang
bermutu tinggi (berkualitas) dan arsitektur yang biasa saja.
Pembahasan kualitas di bidang arsitektur biasanya
hanya memperhatikan bentuk gedung dan konstruksinya, tetapi mengabaikan tokoh
utamanya yaitu manusia.Dalam eko-arsitektur terdapat dasar-dasar pemikiran yang
perlu diketahui, antara lain :
a. Holistik
Dasar
eko-arsitektur yang berhubungan dengan sistem keseluruhan, sebagai satu
kesatuan yang lebih penting dari pada sekedar kumpulan bagian.
b. Memanfaatkan pengalaman manusia
Hal
ini merupakan tradisi dalam membangun dan merupakan pengalaman lingkungan alam
terhadap manusia.
c. Pembangunan sebagai proses dan bukan sebagai
kenyataan tertentu yang statis.
d. Kerja sama antara manusia dengan alam
sekitarnya demi keselamatan kedua belah pihak.
Dengan mengetahui
dasar-dasar eko-arsitektur di atas jelas sekali bahwa dalam perencanaan maupun
pelaksanaan, eko-arsitektur tidak dapat disamakan dengan arsitektur masa
kini. Perencanaan eko-arsitektur merupakan proses dengan titik permulaan lebih
awal. Dan jika kita merancang tanpa ada perhatian terhadap ekologi maka sama
halnya dengan bunuh diri mengingat besarnya dampak yang terjadi akibat adanya
klimaks secara ekologi itu sendiri. Adapun pola perencanaan eko-arsitektur yang
berorientasi pada alam secara holistik adalah sebagai berikut :
a. Penyesuaian pada lingkungan alam setempat.
b. Menghemat energi alam yang tidak dapat diperbaharui
dan mengirit penggunaan energi.
c. Memelihara sumber lingkungan (air, tanah, udara).
d. Memelihara dan memperbaiki peredaran alam dengan
penggunaan material yang masih dapat digunakan di masa depan.
e. Mengurangi ketergantungan pada pusat sistem energi
(listrik, air) dan limbah (air limbah, sampah).
f. Penghuni ikut secara aktif dalam perencanaan
pembangunan dan pemeliharaan perumahan.
g. Kedekatan dan kemudahan akses dari dan ke bangunan.
h. Kemungkinan penghuni menghasilkan sendiri kebutuhan
sehari-harinya.
i.
Menggunakan
teknologi sederhana (intermediate technology), teknologi alternatif atau
teknologi lunak
1.6. Cakupan Ekologi Arsitektur
Sebenarnya, eko-arsitektur tersebut mengandung juga
bagian-bagian dari arsitektur biologis (arsitektur kemanusiaan yang
memperhatikan kesehatan), arsitektur alternative,
arsitektur matahari (dengan memanfaatkan energi surya), arsitektur bionic (teknik sipil dan konstruksi yang
memperhatikan kesehatan manusia), serta biologi pembangunan.Eko-arsitektur
tidak menentukan apa yang seharusnya terjadi dalam arsitektur karena tidak ada
sifat khas yang mengikat sebagai standar atau ukuran baku. Namun, eko-arsitektur
mencakup keselarasan antara manusia dan lingkungan alamnya.
a.
Penyelidikan
kualitas
Tujuan setiap
perencanaan eko-arsitektur yang memperhatikan cipta dan rasa adalah kenyamanan
penghuni. Sayangnya, kenyamanan tidak dapat diukur dengan alat sederhana seperti
lebar dan panjang ruang dengan meter, melainkan seperti yang telah diuraikan
tentang kualitas , penilaian kenyamanan selalu sangat subjektif dan tergantung
pada berbagai faktor. Kenyamanan dalam suatu ruang tergantung secara immaterial
dari kebudayaan dan kebiasaan manusia masing-masing, dan secara material
terutama dari iklim dan kelembapan, bau dan pencemaran udara.
b.
Bentuk
dan struktur bangunan
Bentuk dan struktur bangunan merupakan
masalah kualitas dalam perencanaan eko-arsitektur, walaupun terdapat beberapa
masalah kualitas yang lain yang berhubungan, terutama kualitas bentuk yang
tidak dapat diukur maupun diberi standar.
c.
Pencahayaan
dan warna
Pencahayaan dan warna memungkinkan pengalaman
ruang melalui mata dalam hubungannya dengan pengalaman perasaan. Pencahayaan
(penerangan alami maupun buatan) dan pembayangan mempengaruhi orientasi di
dalam ruang.
Bagian ruang yang
tersinari dan yang dalam keadaan gelap akan menentukan nilai psikis yang
berhubungan dengan ruang (misalnya dengan perabot, lukisan, dan hiasan
lainnya). Cahaya matahari memberi kesan vital dalam ruang, terutama jika cahaya
tersebut masuk dari jendela yang orientasinya ke timur..
Oleh karena pencahayaan
matahari di daerah tropis mengandung gejala sampingan dengan sinar panas, maka
di daerah tropis tersebut manusia sering menganggap ruang yang agak gelap
sebagai sejuk dan nyaman. Akan tetapi, untuk ruang kerja ketentuan tersebut
melawan kebutuhan cahaya untuk mata manusia. Karena pencahayaan buatan dengan
lampu dan sebagainya mempengaruhi kesehatan manusia, maka dibutuhkan
pencahayaan alam yang terang tanpa kesilauan dan tanpa sinar panas. Untuk
memenuhi tuntutan yang berlawanan ini, maka sebaiknya sinar matahari tidak
diterima secara langsung, melainkan dicerminkan/dipantulkan sinar tersebut
dalam air kolam (kehilangan panasnya) dan lewat langit-langit putih berkilap
yang menghindari penyilauan orang yang bekerja di dalam ruang.
Kenyamanan dan
kreativitas dapat juga dipengaruhi oleh warna seperti dapat dipelajari pada
alam sekitar dengan warna bunga. Oleh karena itu, warna adalah salah satu cara
untuk mempengaruhi ciri khas suatu ruang atau gedung. Masing-masing warna
memiliki tiga ciri khusus, yaitu sifat warna, sifat cahaya (intensitas cahaya
yang direfleksi), dan kejenuhan warna (intensitas sifat warna). Makin jenuh dan
kurang bercahayanya suatu warna, akan makin bergairah. Sebaliknya, hawa nafsu
dapat diingatkan dengan penambahan cahaya.
Pada praktek
pengetahuan, warna juga dapat dimanfaatkan untuk mengubah atau memperbaiki
proporsi ruang secara visual demi peningkatan kenyamanan. Misalnya :
( Tomm, Arwed. Oekologisch Planen und Bauen.
Braunschweig 1992. Hlm.23 )
·
Langit-langit yang terlalu tinggi dapat
‘diturunkan’ dengan warna yang hangat dan agak gelap
·
Langit-langit yang agak rendah diberiwarna putih
atau cerah, yang diikuti oleh 20 cm dari dinding bagian paling atas juga diberi
warna putih, yang memberi kesan langit-langit seakan melayang dengan suasana
yang sejuk.
·
Warna-warna yang aktif seperti merah atau oranye
pada bidang yang luas memberi kesan memperkecil ruang.
·
Ruang yang agak sempit panjang dapat berkesan
pendek dengan memberi kesan memperkecil ruang.
·
Ruang yang agak sempit panjang dapat berkesan
pendek dengan memberi warna hangat pada dinding bagian muka, sedangkan dapat
berkesan panjang dengan menggunakan warna dingin.
·
Dinding
samping yang putih memberi kesan luas ruang tersebut.
·
Dinding tidak seharusnya dari lantai sampai
langit-langit diberi warna yang sama. Jikalau dinding bergaris horizontal ruang berkesan terlindung,
sedangkan yang bergaris vertical
berkesan lebih tinggi.
1.7. Sejarah Ekologi Arsitektur
a.
Perkembangan Komunitas Manusia Menurut Para Ahli
1. Menurut Dansereau
Dansereau
mengelompokkan perkembangan komunitas manusia menjadi 6 tingkatan atau stadium,
yaitu:
1. Stadium I : Gathering
2. Stadium II : Hunting and fishing
3. Stadium III : Herding
4. Stadium IV : Agriculture
5. Stadium V : Industry
6. Stadium VI : Urbanization
2. Miller Jr.
Miller Jr. mengelompokkan
perkembangan komunitas manusia menjadi 5 tingkatan, yaitu:
1. Masyarakat
pemburu (pengumpul primitif)
2. Masyarakat
pertanian
3. Masyarakat
industri
4. Masyarakat
warga bumi
3.
Laura
C. Zeiher
Laura C. Zeiher membagi
perkembangan komunitas manusia menjadi 4 kelompok, yaitu:
1.
Hunting
and Gathering
2.
Civilization
3.
Agricultural
Civilization
4.
Industrial
Civilization
b. Penjelasan
Perkembangan Komunitas Manusia
Berikut penjelasan dari masing-masing stadium atau
tingkatan perkembangan komunitas manusia.
1.
Stadium
I atau Gathering
Gathering
merupakan kegiatan penghidupan yang terdiri dari usaha mengumpulkan bahan
makanan dari alam, seperti umbi, daun-daun, buah-buahan, telur, kerang, dan
lain-lain. Lingkungan prilaku masyarakat pada stadium I tersebut relatif
terbatas. Kegiatan penghidupan sehari-hari dibatasi oleh daya gerak fisik tanpa
peralatan transportasi, keterbatasan dalam teknik menyimpan dan mengawetkan
makanan, jumlah tenaga kerja yang kecil (jumlah anggota masyarakat terbatas),
ketergantungan pada sumber air yang ada, dan keterbatasan pengetahuan mengenai
cara-cara menguasai dan mengadakan manipulasi unsur-unsur lingkungan hidup yang
penting untuk kelangsungan hidup sendiri dan keturunannya. Jadi kelangsungan
hidup masyarakat pada stadium I sangat bergantung pada lingkungan, karena mereka
hanya bisa mengambil bahan makanan langsung dari alam tanpa bisa
menghasilkannya kembali.
Mayarakat stadium I
merupakan kelompok-kelompok sekitar 20-50 individu, maka dampak konsumtif
kelompok yang relatif kecil itu, dengan teknologinya yang sederhana, praktis
tidak berarti dalam kondisi ekologi yang normal. Alam dengan mudah dapat
mengisi kembali apa yang sudah diambil melalui berbagai proses regenerasinya.
Kehidupan masyarakatnya juga masih nomaden atau berpindah-pindah. Jika bahan
makanan di suatu tempat telah habis, maka mereka berpindah menuju tempat lain
yang masih menyediakan bahan makanan. Karena hidupnya masih nomaden, maka
tempat tinggal mereka pun berpindah-pindah. Tempat tinggal masyarakat pada
Stadium I ini masih terbilang sangat sederhana, karena mereka hanya dapat
memanfaatkan apa yang disediakan oleh alam, seperti goa atau tinggal di bawah
pepohonan.
2.
Stadium
II : Hunting and Fishing
Pada stadium II
atau Hunting and Fishing adalah
kegiatan berburu dan menangkap ikan. Lingkungan perilaku masyarakatnya juga
masih relatif terbatas seperti masa Stadium II, alat-alat berburu dan menangkap
ikan masih sederhana seperti kapak perimbas. Kebudayaan masyarakat pada stadium
II, pada umumnya terdapat kode etik untuk membunuh hewan secara berlebihan,
yaitu dalam jumlah yang melebihi kebutuhan. Pola ini merupakan suatu faktor
yang sangat berarti dan berhubungan dengan pelestarian sumber-sumber material
dan energi yang dibutuhkan masyarakat itu.
Alat yang digunakan
untuk berburu yakni terbuat dari batu, tulang, tanduk, dan kayu. Peralatan pada masa itu antara lain kapak genggam,
tombak, panah dan alat-alat serpih. Bentuknya masih kasar dan tidak diasah.
Kehidupan
masyarakat pada stadium II juga masih nomaden. Mereka hidup mengembara dari
hutan satu ke hutan yang lain. Daerah yang cocok untuk menghindari hujan, terik
matahari yang panas, dan hawa dingin biasanya tidak terlalu jauh dari sungai,
danau, atau sumber air yang lain. Ada juga yang berlindung di gua-gua sebagai
tempat tinggal sementara. Gua-gua yang dipilih biasanya terletak di
lereng-lereng bukit yang terjal. Untuk mencapainya, mereka menggunakan tangga
yang dapat ditarik ke dalam gua jika ada bahaya yang mengancam.
Masyarakat Food Gathering dan Hunting and Fishing terbatas pada sejumlah suku asing tertentu
seperti suku-suku asli Australia seperti Aborigin, Bushmen di Afrika Selatan,
suku-suku di Kepulauan Andaman, kaum Shoshoni di Benua Amerika, kaum eskimo,
dan suku Pigmi.
Sebagai
contoh, suku Indian membuat Poeblo Bonito di Chaco Canyon, New Mexico pada abad
10 dan 11. Kondisi topografinya menyediakan suatu habitat bagi manusia dengan
pertahan dan perlindungan dari cuaca dingin dan panas. Suatu kawasan atau
wilayah dihuni oleh 1200. Mereka membuat ruang bawah tanah untuk upacara yang
disebut Kivas yang terbuat dari batu dan teras bata. Dinding bagian dalam dari
Canyon berorientasi pada musim panas dan musim dingin. Untuk mempertahankan
temperatur di sepanjang tahun, siang dan malam. Suku Indian di Amerika Utara
membuat suatu tenda sebagai tempat tinggal mereka yang terbuat dari kulit
binatang yang dapat memberikan perlindungan dan menampung sejumlah pengembara.
Hunting and gatering mempunyai efek atau pengaruh terhadap lingkungan dan
menimbulkan kerusakan. Jumlah binatang punah di daerah Eurasia masih dalam
skala kecil, tapi di tempat lain perusakan terjadi secara besar-besaran. Di
Ausralia, 86% binatang punah pada 100.000 tahun yang lalu. Penduduk asli atau
Aborigin sudah melakukan pemburuan yang menyebabkan kepunahan pada 40.000 tahun
yang lalu. Pemunahan terhadap sumber makanan dan habitat alami manusia itu
berpengaruh terhadap kematian. Hal ini
sebanding dengan angka kepunahan di Amerika Selatan yang mencapai 80% dan di
Amerika Utara yang mencapai 73%.
Meskipun
demikian, kehidupan berburu sangat stabil untuk ratusan ribu tahun. Kemudian
sekitar sepuluh ribu tahun yang lalu, metode yang digunakan manusia untuk
memperoleh makanan dan menciptakan tempat perlindungan mulai berubah.
Pengembangan dari penanaman agrikultur membuat suatu perubahan yang radikal
dalam sejarah manusia.
3.
Stadium
III atau Herding
Herding merupakan kegiatan mengembala atau kebudayaan nomadik. Ciri-ciri
kebudayaan mengembala meliputi
kegiatan penghidupan yang terdiri dari memelihara dan membiakkan hewan-hewan
tertentu, menghasilkan produk-produk dari hewan itu (kulit, bulu, produk susu,
dan lain-lain), dan membarter produk-produk itu dengan bahan makanan nabati. Dalam usaha memelihara dan membiakan hewan
itu, masyarakat perlu mengembala ternaknya dari satu tempat ke tempat lain
untuk memperoleh padang rumput yang cukup dan segar. Siklus berpindah-pindah
itu dengan sendirinya terpengaruh musim, baik dari segi persediaan makanan
ternak maupun dari persediaan bahan makanan nabati yang diperlukan oleh
masyarakat gembala itu sendiri.
Secara ekologi
kebudayaan mengembala bertahan karena mengisi suatu kekosongan. Dengan hidup
berpindah-pindah, wilayah penunjang kehidupan ternak sangat luas sehingga hal
ini memungkinkan pembiakan ternak dalam jumlah yang besar, sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan oleh
petani yang bermukim tetap. Sejarah penjinakan atau domestikasi berbagi hewan
peliharaan yang dimulai dari bentuk-bentuk yang liar adalah sebagai berikut
untuk :
Domba : 9000 tahun
SM di Shanidar, Irak.
Kambing : 7500
tahun SM di Ali Kosh, Iran.
Babi : 7000 tahun
SM di Cayonu, Turki.
Unta : 3000 tahun
SM di Rusia Selatan.
Kuda : 3000 tahun
SM di Ukraine, Rusia.
Keledai : 3000
tahun SM di lembah sungai Nil, Mesir.
Penjinakan anjing
(nenek moyang serigala), meskipun jasanya banyak dignakan di kalangan
masyarakat gembala, tetapi tidak dimulai di daerah bioma padang rumput.
Bekas-bekas anjing peliharaan anjing tertua ditemukan di Idaho, Amerika dan
Inggris, umurnya 8400-7500 tahun SM. Jasa anjing itu semula digunakan dalam kebudayaan berburu (stadium II).
Domestikasi berbagai jenis hewan pada hakekatnya merupakan suatu penyederhanan
proses berburu.
Di samping kegiatan
mengembala, masyarakat nomadik masih mempunyai dua usaha penghidupan. Yang
pertama adalah mengumpulkan makanan dan berburu seperti stadiun I dan II. Usaha
yang merupakan warisan dari kebudayaan yang lebih kuno, merupakan suatu usaha sambilan
yang dapat mengurangi ketergantungan masyarakat nomadik itu dari masyarakat
agraris. Usaha yang kedua adalah berperang atau menyerbu sasaran secara
efisien. Pada suku Mongol dan Arab, kebudayaan berperang telah berkembang
sedemikian rupa sehingga mereka berhasil berkuasa di suatu wilayah yang luas
dan makmur karena bersifat agraris.
Dalam sejarah
penyerbuan suku-suku nomadik ini terjadi secara besar-besaran sejak 4000 tahun
yang lalu, dan berlangsung secara bergelombang. Dari segi sosial-budaya, sejarah
penyerbuan suku nomadik itu juga meningkatkan difusi kebudayaan antar daerah,
suatu gejala yang juga menguntungkan dari segi ekologi.
Di Asia Tenggara
termasuk wilayah Indonesia, kebudayaan tidak berkembang karena keadaan alamnya
yang berupa hutan tropis yang lebat dan hijau, adaptasi terhadap alam tersebut
merupakan kebudayaan Stadium I dan II yang berangsur-angsur mengalih ke
kebudayaan Stadium IV yaitu Agraris. Namun dengan catatan bahwa pertanian yang
dilaksanakan adalah pertanian yang berpindah-pindah. Sebagian hutan diratakan
untuk dijadikan ladang, dan kemudian ditinggalkan karena hasil panen yang
menurun dan penanaman menjadi sulit akibat pertumbuhan hutan yang pulih
kembali. Pertumbuhan nomadik agraris bukan saja meliputi suku-suku terasing yang
tersebar di Indonesia, tetapi juga dapat ditemukan di daerah-daerah yang sudah
mantap perkembangan agrarisnya seperti di Pulau Jawa.
4.
Stadium
IV atau Agriculture
Agriculture merupakan kebudayaan agraris. Setelah melewati masa berburu dan mengumpulkan makanan manusia mulai mengenal
masa bercocok tanam pada akhir zaman mesolitikum. Cara bercocok tanam pertama
kali dilakukan dengan berhuma, yaitu dengan cara menebangi hutan, kemudian
ditanami jenis padi-padian, ubi kayu, dan ubi jalar. Dengan dikenalnya sistem berhuma ini, mereka terpaksa
hidup lebih lama ditempat itu. Pada masa inilah mulai berkembangnya
perkampungan-perkampungan dan selanjutnya terbentuklah kesatuan-kesatuan suku,
dan marga yang masing-masing dipimpin oleh kepala sukunya yang dipilih berdasarkan
prinsip primus interpares.
Kehidupan
masyarakat yang makin teratur menuntut kerja sama dan gotong royong dari para
anggotanya. Pembagian kerja makin rinci sehingga terbentuklah warga masyarakat
dengan keahliannya masing-masing, seperti ada yang membuat alat-alat pertanian,
mengolah tanah pertanian, menjual hasil pertanian, membuat alat-alat rumah
tangga, dan lain-lain. Disamping mengenal cara-cara berhuma dan bersawah,
manusia pada masa itu memiliki kepandaian mengawetkan makanan. Misalnya dengan cara
memberi garam atau ramuan tertentu pada daging atau ikan agar dapat bertahan
lebih lama. Kegiatan perekonomian semakin kompleks. Pertanian, perdagangan,
pertukangan, dan pelayaran semakin maju. Hal itu memungkinkan pola kehidupan
masyarakat semakin beraneka ragam dan semakin makmur.
Kemakmuran
masyarakat prasejarah pada masa bercocok tanam terlihat dari
peninggalan-peninggalan budayanya yang beraneka ragam, baik bentuk maupun
jenisnya. Bebarapa diantara peninggalan budaya tersebut berupa kapak persegi,
beliung, cangkul, kapak lonjong, gerabah dan bajak. Alat-alat tersebut sudah
banyak yang terbuat dari logam. Selain alat-alat tersebut, masyarakat
prasejarah pada masa bercocok tanam mulai mengenal tradisi Megalitikum, yaitu
bangunan-bangunan yang dibuat dari batu-batu besar atau batu utuh (Megalith).
Bangunan-bangunan Megalitikum ini dibuat untuk menghormati arwah nenek moyang.
Berikut ini dikemukakan beberapa bangunan-bangunan Megalitikum.
a.
Menhir
Menhir adalah
sebuah tugu dari batu tunggal yang didirikan untuk menghormati roh nenek
moyang.
b.
Sarkofagus
Sarkofagus adalah
peti mayat.
c.
Dolmen
Dolmen berfungsi sebagai peti mayat, meja sesaji, dan
sarana pemujaan.
d.
Peti
Kubur Batu
Peti Kubur Batu
berupa peti mayat, hanya bentuknya berbeda dengan Dolmen dan Sarkofagus. Dolmen
dan Sarkofagus dibuat dengan batu utuh, sedangkan peti kubur batu dibuat dari
lempengan batu yang disusun menyerupai peti.
e.
Punden
Berundak-undak
Punden
Berundak-undak merupakan tempat pemujaan. Bangunan ini dibuat dengan menyusun
batu secara berundak-undak (bertingkat).
f.
Waruga
Waruga adalah peti
kubur batu berbentuk kubus atau bulat yang dibuat dari batu utuh.
g.
Arca
Arca-arca terbuat
dari batu utuh, ada yang menyerupai hewan dan ada juga yang menyerupai manusia.
Sekitar 8000 tahun
SM, kemunculan pedesaan dan perkotaan, dan peningkatan populasi terkonsentrasi
pada permintaan makanan dan sumber daya, dan usaha untuk meningkatkan suplai
yang tidak terelakkan pada area yang lebih kecil. Kebudayaan agraris muncul dan
permintan akan berbagai jenis barang baru mengalami tingkatan, terutama
terfokus pada material konstruksi untuk bangunan dan rumah permanen. Ketika
konstruksi arsitektur berlanjut mengikuti periode dalam sejarah, perkembangan
konruksi tipe arsitektur monumental dalam periode kebudayaan agraris dengan
pembangunannya yang dilakukan secara terorganisir.
Pada
Antroposere stadium Agriculture ini manusia telah mencapai suatu kemampuan adaptif yang hebat, baik dari
segi destruktif maupun dari segi konstrukif terhadap alam dan diri sendiri. Dia
dapat mengadakan manipulasi tanah, genotipe hewan dan tanaman tetapi terikat
pada suatu sistim sosial yang teratur dan tetap yang disebut adat. Selama daya
tampung areal lingkungan hidup operasionalnya luas dan populasinya rendah,
tidak ada masalah yang betul- betul destruktif. Sekalipun pertanian dilakukan
dengan ladang yang berpindah pindah. Hutan yang diratakan dan dibakar untuk
ladang yang dipakai se;lama beberapa kali panen, lambat laun akan pulih kembali
setalah ladang itu ditinggalkan. Lain halnya bila dalam batas-batas
pengetahuan dan teknologi daya tampung
areal lingkungan operasionalnya telah dilampaui akibat usaha meningkatkan
produksi, maka eksploitasi alam terbalik menjadi destruktif karena alam tidak
diberi kesempatan memulihkan diri kembali. Dalam keadaan itu saingan anara unit
unit desa dapat menjelma menjadi hubungan perang. Gejala ini, dari segi ekologi
juga merupakan suatu perilaku adaptasi.
5.
Stadium V atau Industry
Perubahan tata hidup agraris ke tata
hidup industri, yang juga disebut revolusi industri pada umumnya dianggap telah
dimulai beberapa abad yang lalu di Eropa, khususnya di Inggris. Sebenarnya
proses menuju ke stadium industri merupaka suatu proses yang berlangsung cukup
lama dan pusat-pusatnya tidak di Eropa. Di antara 9000 tahun SM sampai sekitar
500 SM, inovasi teknologi telah ditemukan di Mesir, Anatolia (Turki), Timur
Tengah, Lembah Indus dan Cina. Sedangkan di Eropa keadaannya masih pada akhir
stadium hunting and gathering atau
pada stadium agraris yang dini. Sekalipun demikian, harus diakui bahwa
perkembangan pesat di bidang teknologi industri terjadi di Eropa, khususnya di
Inggris menjelang akhir abad ke 18, dan kemudian merambah ke Amerika Serikat. Bahan
baku industri itu tidak hanya dari bahan pertambangan seperti logam, tetapi
juga berasal dari tanaman. Kemudian muncul suatu pertanian industri atau
perkebunan.
Dampak perkembangan industri terhadap
penyebaran manusia di dunia besar sekali. Sebagai contoh, industri tekstil
sampai akhir abad yang lalu membutuhkan banyak bahan baku kapas. Untuk produksi
kapas ini, antara tahun 1451 dan 1870, telah diangkut sekitar 9,6 juta budak
negro dari Afrika ke Amerika. Perkebunan di koloni-koloni Inggris dan Belanda
telah menyerap sekitar 16,8 juta orang India, beberapa juta orang Cina Selatan
dan beberapa ratus ribu penduduk dari Pulau Jawa. Tenaga kasar yang
ditransmigrasi ini tidak seluruhnya kembali ke tempat asalnya sesudah “kontrak”
nya selesai (Davis, 1974). Dampak pemindahan populasi ini sampai sekarang masih
terasa di berbagai daerah bekas kolonisasi dan bekas daerah produksi bahan baku
industri. Masalahnya bukan hanya masalah sosial sajua, tetapi juga masalah
kebudayaan, sebab dengan transmigrasi penduduk juga terjadi interaksi
kebudayaan.
Efisiensi yang rendah pada pertanian
industrial, menimbulkan reaksi di negara maju seperti Amerika Serikat.
Penggunaan pupuk buatan membuat tanah kehilangan strukturnya yang bisa menahan
air dan erosi. Dengan hilangnya unsur organik dari tanah, menyebabkan erosi
bertambah dan tanah menjadi padat. Untuk mengolah tanah yang padat itu
diperlukan peralatan mekanis yang lebih berat. Dengan bobot yang lebih berat
itu juga membantu membuat tanah lebih padat lagi (Tucker, 1979). Oleh karena
itu usaha pertanian secara tradisional mulai populer kembali di Amerika
Serikat, terutama dari segi penggunaan pupuk organik atau pupuk kandang
(Carter, 1980).
Industri membawa sejumlah masalah
khusus. Di samping membuat berbagai aspek kehidupan menjadi lebih mudah karena
produksi alat-alat rumah tangga yang praktis dan relatif murah, industri juga
membawa sejumlah hal yang mengganggu. Seperti misalnya polusi partikel, polusi
bahan kimia, polusi suara, bahaya kebakaran, dan bahaya ledakan. Selain itu
juga menimbulkan tekanan jiwa, karena kecepatan kerja ditentukan oleh mesin,
bukan oleh selera manusia lagi. Demi efisiensi penggunaan mesin, jumlah
produksi yang diminimalisasi sudah diperhitungkan dan jumlah produksi maksimal
merupakan sasaran setiap industri yang ingin menjamin kelangsungannya.
Mengingat perkembangan ilmu dan teknologi juga sangat pesat, maka banyak produk
yang cepat sekali menjadi usang, dan banyak yang kurang laku karena saingan
produk yang baru dan lebih menarik. Tekanan lingkungan kerja ini dengan
sendirinya menuntut korban-korbannya. Tingkatan kebudayaan industrial dapat
diukur dari kelainan prilaku golongan sosial, penyakit jiwa dan penyakit
jantung, dan juga jumlah korban kecelakaan baik dalam usaha produksi maupun
akibat dari keracunan polusi.
Kebudayaan industri sangat bergantung
dari sumber energi yang mempunyai keterbatasan. Ketergantungan ini setingkat
dengan perkembangan industri. Oleh karena itu, konsumsi dan ketergantungan
semacam itu berpusat di negara-negara maju. Karena labilnya ekologi manusia
pada tingkatan kebudayaan industri, maka diusahakan sejumlah pendekatan untuk
membuat suatu keadaan yang lebih mantap, atau sekurang-kurangnya memperoleh
tanda bahaya sedini mungkin sehingga proses adaptasi yang paling tepat dapat
direncanakan. Contoh usaha-usaha tersebut adalah politik konservasi sumber
energi, pengembangan penggunaan sumber energi yang lebih awet, pengembangan
sistem evaluasi, dan monitoring polusi.
6.
Stadium 6 atau Urbanization
Di antara 10.000 dan 5000 tahun yang
lalu, domestikasi tumbuh-tumbuhan dan hewan serta kemajuan dalam pembuatan alat
kerja telah memungkinkan manusia bermukim tetap dan menghidupkan jumlah
populasi yang besar. Tata hidup sosial juga berubah dari sekumpulan manusia
dengan struktur sosial yang sederhana ke suatu masyarakat dengan wujud
kepemimpinan yang jelas. Norma-norma sosial ditetapkan melalui prasasti yang
tahan zaman. Salah satu prasasti yang tertua adalah prasasti Hammurabi yang
berumur lebih dari 4000 tahun dan ditemukan di Babilon, Irak. Isinya 282
peraturan hukum (Dir. Gen. of Ant. 1957).
Salah satu kota tertua adalah Jerikho di
lembah sungai Jarden, yang 10.000 tahun yang lalu susah berwujud lengkap dengan
tembok perbentengan di sekelilingnya dan menara-menara. Luasnya relatif kecil,
sekitar 4 atau 5 ha dan penduduknya kurang lebih hanya 2000 jiwa (Harris,1975).
4000 tahun kemudian dalam periode 6350 sampai 5200 tahun yang lalu, Timur
Tengah mengenal kota-kota besar dengan jalan-jalan raya, istana dan candi-candi
seperti Eridu, Al Ubaid dan Uruk.
Dalam periode berikutnya sampai
permulaan perhitungan Masehi, berbagai pusat urban dunia telah berkembang
menjadi kota-keraton, kota-benteng kerajaan-kerajaan tertua atau berbentuk
negara-kota. Kota-kota kuno itu bukan sekadar suatu tempat pemukiman, tetapi
merupakan jantung kegiatan ekonomi dan pemerintahan yang didukung oleh
kekuasaan religi setempat. Sebagai pusat yang relatif kaya terhadap daerah
sekitarnya, kota-kota tersebut mempunyai sistem pertahanan yang ampuh. Kekayaan
dan kemakmuran sebuah kota kuno dapat diukur dari sistem perbentengan, tata
kota yang berpusat pada sejumlah bangunan monumental, terutama istana-istana,
tempat pertemuan umum dan tempat ibadah yang besar. Beberapa contoh pusat urban
kuno antara lain Mesopotamia, Memphis, Mohenjo-Daro dan Harappa.
Beberapa abad menjelang perhitungan
Masehi, pusat-pusat urban bertambah dengan pesat. Ada diantaranya yang sudah
berdiri cukup lama, tetapi pada permulaan itu kota-kota tersebut tidak memegang
peranan penting di luar wilayahnya. Contohnya antara lain Athena, Roma, dan
Kartago.
Beberapa hal mengenai sejarah urban ini
telah dikemukakan untuk memperlihatkan bahwa perkembangan kebudayaan kota
merupakan suatu proses adaptasi yang telah berlangsung cukup lama. Adaptasi
tersebut berlangsung bukan terhadap perubahan lingkungan hidup ekstern sebagai
akibat kebudayaan yang menggunakan lahan pertanian yang luas, tetapi juga
terhadap lingkungan sosial yang melalui kebudayaan agraris telah menuntut
sejumlah perubahan tata hidup yang baru.
Perkembangan sebuah kota, sebagai
ekspresi kebudayaan urban, telah disusun oleh Mumford (1970) sebagai berikut:
Stadium 1 : Eopolis
Perkembangan sebuah desa menjadi suatu
pemukiman yang tetap dengan penggunaan tanah yang teratur.
Stadium 2 : Polis
Suatu kumpulan desa atau kelompok
keluarga besar dengan adat istiadat serta kegiatan agraris.
Stadium 3 : Metropolis
Sebuah kota yang tumbuh dari sejumlah
desa atau kota kecil sehingga merupakan suatu pemukiman induk dengan pusat
perdagangan dan interaksi dari berbagai macam-macam kebudayaan.
Stadium 4 : Megapolis
Sebuah kota besar dengan tanda-tanda
permulaan kemunduran peradaban.
Stadium 5 : Tyranopolis
Sebuah kota besar yang hidup sebagai
parasit di lingkungannya. Tampak detoriasi di berbagai bidang kehidupan
termasuk di bidang ekonomi dan usaha administratif.
Stadium 6 : Nekropolis
Sebuah kota besar dalam keadaan
kemunduran umum, menuju kemusnahannya.
Klasifikasi kota tidak semudah seperti
yang telah dikemukakan di atas. Patokan yang dapat dipakai sebagai suatu
kriteria dalam sebuah pemukiman adalah sebagai berikut.
a. Status hukum
Sebuah pemukiman dapat berstatus kota
berdasarkan suatu status hukum. Misalnya kota kecamatan, kota kabupaten. Ukuran
dan bentuk fisiknya tidak penting, sebab status itu berdasarkan kedudukan suatu
pusat pemerintahan. Istilah khusus untuk pemukiman semacam ini adalah kota
formal (Herbert, 1973).
b. Kepadatan penduduk atau jumlah penduduk
Breese (1966) mengemukakan patokan untuk urban area atau city, suatu area
pemukiman dengan populasi minimal 20.000 jiwa. Davis (1969) menggunakan patokan
yang lain, minimal 100.000 jiwa. Sedangkan Northam (1975) menyajikan kriteria
seperti berikut ini:
·
Kota kecil : 2.500 sampai dengan 25.000
penduduk
·
Kota medium : 25.000 sampai dengan 100.000
penduduk
·
Kotas besar : 100.000 sampai dengan 800.000
penduduk
·
Metropolis : lebih dari 800.000 penduduk
·
Megapolis : sekurang-kurangnya beberapa
juta penduduk
·
Ecumenopolis : beberapa puluh juta penduduk
c. Bentuk fisik
Kriteria fisik adalah sekumpulan
ciri-ciri kebudayaan material seperti bangunan yang permanen yang berdiri
sendiri-sendiri, tetapi berdekatan letaknya, menurut suatu pola yang teratur.
Di samping bangunan-bangunan pribadi, terdapat juga bangunan-bangunan untuk
keperluan umum.
d. Perilaku penduduk
Perilaku yang khas untuk patokan
definisi kota sebenarnya juga menyangkut sikap yang belum tentu tampak sebagai
perilaku sehari-hari. Kriteria perilaku merupakan suatu sindrom, misalnya
perilaku yang mengarah ke individualisme, anonimitas, materialistik, dan
spesialistik dalam berbagai usaha mencari nafkah.
Kota sebagai suatu sistem ekologi
tersendiri, pada permulaan sejarah tidak terasa dampaknya. Dengan pertumbuhan
urban dimana-mana, banyak negara yang daerahnya lebih dominan dengan urban
daripada rural. Misalnya Jepang, mempunyai perbandingan areal urban terhadap
areal agraris sebesar 1 : 5. Masyarakat Inggris juga dapat disebut masyarakat
urban, sekalipun tempat tinggalnya di pedesaan. Dampak suatu pusat urban dapat
dijelaskan sebagai berikut.
·
Dampak land coverage
Perkembangan
kota yang sangat pesat menyebabkan tertutupnya tanah yang amat luas.
Pusat-pusat pemukiman yang sebelumnya ditunjang oleh lahan agraris, menjadi
tertutup oleh bangunan-bangunan dan sistem lalu lintas, yang memakai daerah
pertanian yang biasanya berkualitas baik. Jadi yang tertinggal adalah daerah
pertanian yang kualitasnya lebih rendah. Penutupan tanah membawa dampak pada
saat musim penghujan. Air tidak dapat terserap ke dalam tanah dan menyebabkan
banjir.
·
Dampak pola konsumtif
kota
Sebuah
kota besar mengambil material dan energi dari banyak daerah, tetapi tidak
mengembalikan zat-zat yang dipakai ke tempat asal zat-zat itu diambil. Sampah
ditimbun di daerah setempat atau dibuang ke sungai atau ke laut. Sistem peredaran
zat atau material ini membawa dampak pada daerah-daerah penunjang kota
metropolis. Jadi seolah-olah kekayaan mereka telah dirampok. Khususnya dalam
hal air. Sebuah kota besar, terutama kota industri yang sangat boros, apabila
air yang disalurkan dari luar tidak mencukupi, maka langkah selanjutnya adalah
mengebor air dari dalam tanah. Contohnya Kota Meksiko, dengan sekitar 3000
sumur bor pribadi dan 220 sumur bor pemerintah, telah menimbulkan penurunan
tanah di kota itu mencapai 15 hingga 30 cm per tahun. Dalam periode 1891-1959,
sudah ada bagian kota yang tanahnya turun sebanyak 7,5 meter (Poland, 1971).
·
Dampak iklim dan polusi
kota
Polusi
debu atau partikel di udara sebuah kota menyebabkan radiasi matahari yagn
sampai pada permukaan daerah urban sangat berkurang. Sekalipun demikian, suhu
di kota lebih tinggi dari suhu di daerah sekitarnya yang masih bersifat
agraris. Hal ini disebabkan oleh karena radiasi matahari yang diterima di
sebuah kota dipantulkan kembali melalui bangunan-bangunan dan aspal jalan,
ditambah dengan panas buatan manusia sendiri melalui pembakaran yang terjadi
pada mesin-mesin kendaraan dan industri.
·
Dampak stres kehidupan
kota
Hidup
berdekatan dan berdesak-desakkan menyebabkan masyarakat lebih sering bertatap
muka dan tatap muka tersebut sering terjadi di luar keinginan masyarakat itu
sendiri. Dengan demikian mekanisme penyesuaian sosial selalu harus siap siaga
supaya hubungan baik antara individu terpelihara dengan mantap (Zlutnick,
1972). Persaingan dalam bidang sosial-ekonomi di dalam suatu lingkungan dengan
banyak orang, dengan sendirinya meningkat untuk bertahan hidup. Aspek kehidupan
ini tidak sedikit menyebabkan tekanan batin kepada banyak penduduk kota.
2.
Arsitektur Sadar
Lingkungan
2.1. Pengertian
Arsitektur sadar lingkungan yaitu arsitek
yang memperhatikan keadan lingkungan atau arsitek yang melakukan penghematan
dalam membangun sebuah bangunan yang diantaranya adalah tidak menggunakan
kebutuhan - kebutuhan sebuah bangunan secara berlebihan. Seorang arsitek yang
sadar lingkungan harus memperhatikan kebutuhan - kebutuhan yang hanya
diperlukan saja tidak melakukan pemborosan, harus hemat energi. misalnya
dalam penggunaan listrik, air, dll. Bisa juga dengan memanfaatkan keadaan alam
yaitu energi surya ( matahari ) atau dengan memanfaatkan tumbuh – tumbuhan
sekitar.
2.2. Tujuan Bangunan
yang berwawasan Lingkungan
a.
Sebagai
panutan masyarakat mengenai pentingnya studi lingkungan sebelum mendirikan
bangunan
b.
Memberikan
arahan bentuk bangunan yang sesuai dengan lingkungan serta budaya sekitar
c.
Memberikan
contoh perletakan tapak bangunan tanpa menimbulkan pengaruh negatif terhadap
lingkungan
d.
Mengikutsertakan
masyarakat dalam proses pembangunan, sebagai pembelajaran serta peningkatan
ekonomi lokal
e.
Memberikan
contoh pengelolaan serta perawatan bangunan ekologi,
2.3. Ciri Arsitektur
Sadar Lingkungan
a. Holistik
Sebenarnya, eko-arsitektur tersebut
mengandung juga bagian-bagian dari arsitektur biologis (arsitektur kemnusiaan
yang memperhatikan kesehatan), arsitektur alternatif, arsitektur matahari
(dengan memanfaatkan energi surya), arsitektur bionic (teknik sipil dan
konstruksi yang memperhatikan kesehatan manusia), serta biologi pembangunan.
Maka istilah eko-arsitektur adalah istilah holistik yang sangat luas dan
mengandung semua bidang. Eko-arsitektur tidak menentukan apa yang seharusnya
terjadi dalam arsitektur karena tidak ada sifat khas yang mengikat sebagai
standar atau ukuran baku. Namun, eko-arsitektur mencakup keselarasan antara
manusia dan lingkungan alamnya. Eko-arsitektur mengandung juga dimensi yang
lain seperti waktu, lingkungan alam, sosio cultural, ruang, serta teknik
bangunan. Hal ini menunjukkan bahwa eko-arsitektur bersifat lebih kompleks,
padat, vital dibandingkan dengan arsitektur pada umumnya.
b. Hemat
Energi.
Manusia
hidup bagi banyak kegiatan ia pasti memerlukan energi, untuk menyediakan
makanan, untuk membakar batu bara dan untuk memproduksi peralatan dalam bentuk
apapun dan pasti akan selalu membebani lingkungan alam. Api yang dapat
memberikan kehangatan dan menerangi kegelapan tetapi yang juga mengandung
kekuatan merusak yang menakutkan, dapat melambangkan energi dan bahan bakarnya.
Bahan bakar dapat digolongkan menjadi 2 kategori yaitu yang dapat diperbaharui
dan yang tidak dapat diperbaharui. Walaupun kita telah mengetahui perbedaan diantara
keduanya, manusia tetap cenderung memanfaatkan energi yang tidak dapat
diperbaharui (batu bara, minyak, dan gas bumi) karena dianggap penggunaannya
lebih mudah. Penggunaan energi untuk seluruh dunia diperkirakan 3x1014 MW per
tahun, yang berarti bahwa bahaya bagi manusia bukan hanya terletak pada
kekurangan energi tetapi juga pada kebanyakan energi yang dibakar dan
mengakibatkan kelebihan karbondioksida di atsmosfer yang mempercepat efek rumah
kaca dan pemanasan global.
c. Material
Ramah Lingkungan.
Adapun prinsip-prinsip
ekologis dalam penggunaan bahan bangunan :
1. Menggunakan
bahan baku, energi, dan air seminimal mungkin.
Semakin kecil kebutuhan
energi pada produksi dan transportasi, semakin kecil pula limbah yang
dihasilkan.
2. Bahan-bahan
yang tidak seharusnya digunakan sebaiknya diabaikan.
3. Bahan
bangunan diproduksi dan dipakai sedemikian rupa sehingga dapat dikembalikan
kedalam rantai bahan (didaur ulang).
4. Menggunakan
bahan bangunan harus menghindari penggunaan bahan yang berbahaya (logam berat,
chlor).
5. Bahan
yang dipakai harus kuat dan tahan lama.
6. Bahan
bangunan atau bagian bangunan harus mudah diperbaiki dan diganti.
d. Peka
Terhadap Iklim
Pengaruh iklim
pada bangunan. Bangunan sebaiknya dibuat secara terbuka dengan jarak yang cukup
diantara bangunan tersebut agar gerak udara terjamin. Orientasi bangunan
ditepatkan diantara lintasan matahari dan angin sebagai kompromi antara letak
gedung berarah dari timur ke barat, dan yang terletak tegak lurus terhadap arah
angin. Gedung sebaiknya berbentuk persegi panjang yang menguntungkan penerapan
ventilasi silang.
2.4. Alam sebagai pola perencanaan
Struktur-struktur alam selalu terbentuk sebagai
peredaran alam. Sebuah rumah adalah buatan manusia; walaupun demikian, menurut
paham orang jawa rumah di anggap milik wahyu. Berarti rumah juga jadi organisme
alam, seperti ada anggapan bahwa seluruh dunia juga jadi organism.
Organisme
alam yang mengalami kelahiran, kehidupan, dan kematian sebagai konsep mikrosmos
yang meniru makrosmos yang tidak terhingga. Alam sebagai pola perencanaan
eko-arsitektur yang holistis kemudian dapat di simpulkan dengan persyaratan
berikut:
a. Penyesuaian pada lingkungan
alam setempat
Dampak positif terhadap
lingkungan yang dapat di capai oleh arsitektur ekologis makin besar, makin
banyak tuntutan ekologis pada tempat tertentu dapat di peroleh. Persyaratan
yang menguntungkan adalah konsep tata kampong atau tata kota dalam skala cukup
luas.
b. Menghemat sumber energi alam yang
tidak dapat diperbaharui dan mengirit penggunaan energy
Energi yang dapat di
perbaharui berhubungan dengan teknologi baru dan kurang membebani lingkungan
alam jika di bandingkan dengan sumber energi yang terbatas. Penggunaan energi
surya (air panas, listrik), angin (penyejuk udara, listrik dan pompa air), arus
air sungai (pengairan, listrik), atau ombak laut (listrik) dapat di
integrasikan dalam proyek eko-arsitektur.
c. Memelihara sumber lingkungan
Setiap kegiatan manusia,
apakah membangun rumah atau menjalankan kendaraan bermotor, merusak sebagian
dari lingkungannya dan mencemari udara (gas buangan, asap, kebisingan), tanah
(jalan raya dan gedung mengganti lahan rumput), dan air (pencemaran udara
mengakibatkan air hujan asap, perembesan air kotor mencemari sumber air minum.
d. Memelihara dan memperbaiki peredaran
alam
Karena semua ekosistem
dapat dimengerti sebagai peredaran alam, harus diperhatikan supaya kegiatan
manusia jangan merusaknya. Semua kegiatan baru seperti misalnya mengguanakan
untuk membangun rumah harus dilakukan sedemikian rupa sehingga rantai bahannya
berfungsi juga sebagai peredaran.
e. Mengurangi ketergantungan
pada sistem pusat energi (listrik, air) dan limbah (air limbah, sampah)
Setiap jaringan energi
seperti listrik atau air minum membutuhkan banyak energi dalam persediaan dan
mengakibatkan banyak kerugian. Pembuangan air limbah/mengancam lingkungan alam
dan sumber air minum. Jika energy dibangkitkan pada tempat (misalnya energy
surya) dan air limbah di olah langsung dan secara alami, ketergantungan dan
kehilangan (transmission loss) dapat dicegah.
f. Menggunakan teknologi
sederhana
Dampak buruk dan negatif
teknologi dapat diatasi dengan penggunaan dan pemanfaatan teknologi sederhana
(intermediate technology), teknologi alternatif, atau teknologi lunak dari pada
teknologi high-tech yang juga di artikan sebagai teknologi keras.
Pembanguna secara ekologis
berarti pemanfaatan prinsip-prisnsip ekologis pada perencanaan lingkungan
buatan. Pada pembangunan biasa seluruh gedung berfungsi sebagai sistem yang
memitas, yang mengurangi kualitas lingkungan (pass trough system).
2.5. Kriteria –Kriteria Bangunana Sehat dan
Ekologis
Berikut ini adalah kriteria
banguanan sehat dan ekologis berdasarkan buku arsitektur ekologis
versi Heinz Frick,antara lain :
A.
Menciptakan
kawasan hijau diantara kawasan bangunan
Tujuan
dari diciptakannya kawasan hijau adalah sebagai salah satu upaya untuk
mencegah global warming
. Berikut adalah
contoh sebagai bentuk
menciptakan kawasan hijau disekitar
kawasan pembangunan :
a.
Menciptakan
taman ekologis disekitar bangunan
Taman ekologis berfungsi sebagai salah satu pencegahan global warming
dan juga
sebagai view yang menarik bagi siapa
saja yang melihat . Prinsip-
prinsip-prinsip pembangunan taman
ekologis yang dapat diterpakan:
1.
Pembentukan
jalan
setapak
dengan
bentuk
yang
beraneka
ragam
2.
Penciptaan
sudut yang nyaman, sejuk serta teduh
3.
Menggunakan
penghijauan pada pagar atau dinding taman
4.
Pemilihan
tanaman tertentu
5.
Pemilihan tanaman
yang sesuai dengan
tempat dan mudah dalam perawatannya.
b.
Urban Farming
( urban agriculture)
Urban farming
merupakan cara
untuk
penghiajuan sekitar bangunan fungsi dari urban
farming yaitu untuk
1.
mengurangi
pemansan global,
2.
menciptakan
view yang menarik
3.
memperbaiki
kesuburan tanah
4.
penghematan karena bahan makanan
nabati dapat dihaslkan sendiri
B.
Memilih
tapak
bangunan
yang
sesuai
dengan
perencanaan
yang
berkarakter ekologis
Tapak yang digunakan sesuai dengan proyek yang dihasilkan , tetapi tetap dengan melihat kesinambungan antara lingkungan dan gedung.
Pada lahan yang akan digunakan untuk membangun sebuah gedung , Berikut adalah
hal
–
hal
yang
sebaiknya diperhatikan dalam membangun sebuah bangunan :
1.
Hal
pertama yang seharusnya dipertimbangkan adalah apakah kesuburan tanah
itu dapat dibuat
tandus oleh gedung.
Tannah yang sangat subur
sebaiknya dipertahankan sebagai
lahan tanaman dan bukan digunakan sebagai tempat parkir, laahn bangunana
ataupun jalan.kedua
2.
Hal kedua
kedahan
lahan
yang
ditumbuhi
oleh
tanaman
yang
sudah ada misalnya
pohon peneduh, semak,
dan bunga , sebaiknya tanaman tersebut dipertahankan
sebanyak mungkin.
3.
Hal ketiga
adalah
pertimbangkan
tanaman
yang
akan
direalisasikan.
C.
Menggunakan
bahan bangunan buatan local
Sekarang ini mulai banyak perkembangan bahan
bangunan
,
munculnya pekembangan bahan
bangunan dikarenakan adanya kesadaran masyarakat terhadap ekologi
lingkungan dan fisika
bangunan. Bahan bangunan yang alami tidak mengandung zat yang dapat merusak
kesehatan manusiamaka berikut ini merupakam penggolongan bahan bangunan menurut
bahan mentah dan tingkat transformasinya :
Tabel 7.1. penggolongan bahan bangunan menurut bahan
mentah dan tingkat transformasinya
Penggolongan ekologis
|
Contoh Bahan bangunan
|
Bahan bangunan
yang regneratif
|
Kayu, bambu, rotan, rumbia, alang-ang, serabut kepa, kulit kayu, kapas ,kapuk,
kulit binatang dan wol
|
Bahan bangunan
yang dapat digunakan kembali
|
Tanah, tanah liat,
lempung,
tras, kapur, batukali, batu alam.
|
Bahan bangunan
recyaling
|
Limbah, potongan, sampah, ampas, bahan
kemasan, serbuk kayu, potongan kaca.
|
Bahan
bangunan aklam yang mengalami tranformasis sederhana
|
Batumerah, genting tanah
liat, batako, conblok, logam, kaca , semen
|
Bahan bangunan alam
alam yang mengalami beberapa tingkat perubahan transformasi
|
Plastik, bahan sintesis, epoksi
|
Bahan banguann
komposit
|
Beton bertulang,
pelat serat semen, beton komposit,
cat kimia, perekat.
|
Sumber: Frick, Heinz., dan Tri Hesti M., (2006), Arsitektur Ekologis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Bahan banguan yang ekologis seharusnya memenuhi syarat-
syarat berikut :
1. Produksi
bahan
banguanan menggunakan energis
esedikit mungkin.
2. Tidak mengalami perubahan
bahan yang dapat
dikembalikan ke alam.
3.
Eksploitasi , pembuatan (produksi), penggunaan bahan
bangunan sesedikit mungkin mencemari lingkungan. 4.
Bahan bangunan berasal dari sumber lokal.
D.
Menggunakan
ventilasi alam dalam bangunan
Ventilasi berfungsi untuk pertukaran udara . uahl yang berkaiatan dengan
arsitektur ekologis tentunya
yang berkaiatan dengan unsur alam salah satunya yaitu penggunaan ventilasi
dari alam ventilasi berkaitan
dengan kualitas di dalam ruangan . 2 hal yang berkaitan dengan kualitas udara
yaitu penghawaan dan pencahayaan . penhawaana oleh angin dan pencahayaan oleh
sinar matahari . berikut ini adalah penjelasan tentang kualitas dalam ruangan yang baik dan benar
beradsaarkan buku arsitektur ekologis versi heinz frick
1.
Penghawaan
Pada daerah yang beriklim tropis
kelembapan udara dan suhu
juga tinggi .angin sedikit bertiup dengan arah yang berlawanan pada musim hujan
dan musim kemarau..pengaruh angin dan lintasan matahari terhadap bangunan dapat
dimanfaatkan dengan
a) gedung
yang dibuat secraa terbuka dengan jarak yang cukup diantara bangunan tersebut
agar gerak udara terjamin
b) .orientasi
banguanan ditempatkan diantara lintasan matahari dan angin sebagai kompromi
antara letak gedung berarah dari timur ke barat, dan yang terletak tegak lurus
terhadap arah angin ,
c) gedung
yang baik sebaiknya berbentuk persegi panjang yang nantinya berguna untuk ventilasi silang
d) ruang disekitar bngunan
sebaiknya dilengkapi pohon peneduh.
e) menyiasaka minimal 30% lahan banguanan
terbuka untuk penghijauan dan tanaman
2.
Pencahayaan
Cahaya sangat penting bagi makhluk hidup ,
terutama untuk manusia , cahaya digunakan untuk megenali lingkungan sekitar dan
juga untuk menjalankan aktivitas.
a) Cahaya dari permukaaan atap dan dinding
Cahaya berasal dari sinar matahari yang masuk
ke dalam ruangan melalui
lubang atap dan / atau lubang dinding.
Berbgai macam variasi bentuk tergantung dari bentuk dan arah matahari terhadap bangunan itu
sendiri . pelubangan bangunan untuk cahaya alam berdampak pada kesilauan bila
bentuk dan arah lubang tidak tepat dalam pengguanaanya.
b) Perlindungan terhadap silau matahari
Intensitas matahari terkadang juga berlebihan
, cahaya yang berlebihan menyaebabkan silau . silau akibat sinar matahri yang
berlebihan akan menyebakan ketidaknyamanan visual
dan dapat melelahkan mata . Untuk
mengatasi hal tersebut berbagai macam cara untuk menghindari atau mengurangi
silau tersebut menurut buku dasar-dasar arsitektur ekologis heinz frick adalah:
1) Penyediaan selasar disamping bangunan
2) Pembuatan atap tritisan atau pemberian sirip/kanopi
pada jendela
3.
Pewarnaan
Masing –masing warna memiliki ciri khusus
yaitu :
a) Sifat warna
b) Sifat cahaya (intensitas cahaya yang
refleksi)
c) Kejenuhan warna (intensitas sifat
warna)
Warna memilki sifat-sifat terntentu, warna
tidak hanya berpengaruh pada kenyamanan manusia, tetapi juga berpengaruh pada
suasan dan kesan pada suatu ruang, berikut adalah berbagai macam warna yang
berpengaruh pda manusia:
1) Kuning:
Menunjukan pengalaman dasar psikis: matahari dan kehangatan, pemancaran, berati
: terang, cerah,lincah, meluaskan kesadaran. 2) Orange Berati : menanti, mengubah,
menggembirakan, menguatkan.
3) Merah
Berati : kuat, berapi –api, merangsang, menggairahkan.
4) Ungu :Agung. Memurnikan, gaib .
5) Merah bungur :Agung, luhur, khidmat
6) Biru: Ketenangan , dingin, sepi,
memengakan ,memantapka , pasif.
7) Pirus: Kreatif, komunikatif, teknis,jelas.
8) Hijau:
Pasif, alamiah, menengakan , melepaskan, damai, menyelaraskan.
9) Cokelat: Konservatif, tanah berbobot,
pasrah
10) Abu-abu:
Sedih, pasif, diam .
11) Hitam:
Sedih, suram, sepi
12) Putih:
Ternag, bersih, dingin
13) Kuning
muda: Lembut, tentram, hangat, terang.
14) Merah muda kekuningan: Tentram, lembut,
berkasihan, bersuasana damai.
15) Biru
muda: Halus, sejuk, surgawi
16) Hijau kekuningan: Lembut, terlindung,
menggairahkan,melepaskan.
Letak warna dalam suatu ruang mempunyai arti yang
bermacam- macam , karena peletakan
warna itu sendiri ebrada ditempat yang berbeda
yaitu berada pada
lantai, dinding
ata langit-langit. Berikut
ini adalah contoh
warna yang berada
pada bagian terntentu dan arti
dari warna itu sendiri.
1) Putih
Pada lantai : menolak bersentuhan
Pada dinding : memperkuat kontras, bersifat
netral
Pada langit-langit : kosong, hampa2) Merah
muda kekuningan
Pada lantai : mengakatkan (berkesan ringan)
Pada dinding : menggiatkan, menggairahkan Pada langit-langit : merangsang,
metal
3) Pirus
Pada lantai : merangsang, bergerak jalan
Pada lantai : sejuk, membaewa meluaskan
kesadaran
Pada langit-langit : mencerahkan ,
meningkatkan
4) Kayu alamiah (coklat)
Pada lantai : hangat berciri khas tanah
Pada dinding : menyenangkan , nyaman
Pada langit – langit : mempengapkan,
menggelapkan.
E.
Menggunakan
energi terbarukan
Energi terbarukan merupakan
energi yang dapat
dihasilkan sendiri berikut ini
adalah beberapa macam alat yang adapa t digunakan untuk meciptakan energi snediri yang diambil dari buku
arsitektur ekologis jilid 2 heinz frick hal 142
1.
Energi surya
Tabel 7.3. Tabel Energi Sel Surya
No
|
Sel surya
|
Daya kerja
|
Penyimpanan
|
1
|
|
Membangkitkan listrik
12 V arus searah
(dengan
mengguanakan perata arus dan
transformer terdapat 220 V arus bolak balik)
|
Tenaga listrik sulit disimpan,
kecuali dengan
mengisis aki (biasanya 12
V arus searah.
|
Sumber: Frick, Heinz., dan Tri Hesti M., (2006), Arsitektur Ekologis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
2. Energi air
Energi air secara tradisional digunakan
kincir air a) Dengan pukulan ke atas
b) Dengan pukulan bawah
c) Untuk membangkitakan listrik iguanaakn
turbin
3.
Energi angin
Energi angin dapat dimanfaatkan dengan
menggunakan kincir angin sesuai kebutuhan tenaga. Energi geotermal memanfaatkan
panas bumi untuk menghasilkan uap yang dapat digunakan untuk membangkitkan tenaga . pembangkit
listrik dengan menggunakab panas (uap)merupakan sistem yang kurang efisien
(faktor efisiensi< 27%)
F.
Memilih
lapisan
permukaan
dinding
dan
langit-langit
ruang
yang
mampu mengalirkan uap air.
Menurut
buku Eckb ,1964 dan Fakuaea,1987 yang ditulis dalam buku arsitektur ekologis
hal 108 fungsi penghijauan pada dinding dan
atap rumah adalah
sebagai berikut :
1. Tanaman sebagai penghijauan rumah dalam
pertumbuhannya menghasilkan O2 yang
diperlukan bagi makhluk hidup untuk
bernapas.
2.
Sebagai pengtaur lingkungan (mikro), vegetasi akan menimbulkan hawa lingkungan
setempat sejuk,nyaman dan segar.
3.
Pencipta lingkungan hidup (ekologis). Penghijauan dapat menciptakan ruang hidup
bagi
makhluk
hidup
di
alam. Penyeimbangan alam (adaptis) merupakan pembentukan tempat- tempat hidup bagi stawa yang hidup
disekitarnya
4.
Perlindungan (protektif) terhadap
kondisi fisik alami sekitarnya
(air hujan, angin kencang dan terik matahari
)
5.
Keindahan (estetika) . dengan terdapatnya
unsur-unsur penghijauan yang direncanakan secara
akan
menciptakan kenyamanana visual.
6. Kesehatan (hygiene), untuk terapi mata
karena penghijauan mengikat gas dan debu.
7. Mengurangi
kebisisngan di dalam gedung, terutamam
pada atap bertanam yang
menambah bobot (massa) sebagai penanggulangna suara/bising.
8. Rekreasi
dan pendididkan (edukatif). Jalur hijau dengan
aneka vegetasi mengandung nilai-nilai ilmiah
9.
Sosial politik ekonomi
G.
Menjamin bahwa
bangunan tidak
menimbulkan permasalahan lingkungan
Bangunan yang baik adalah bangunan
yang tidak merugikan lingkunagan memang saat banguanan tersebut dibangun sudah
mengurangi komunitas hewan yang sebelumnya ada dilahan tersebut . tetapi kita
sebagai manusia yang bijak adan peduli akan lingkungan seharusnya mengaganti
lahan yang menjadi komunitas mereka dengan cara melakukan penghijauan disekitar bangunan . berbagai
macam sebagai berikut :
1. Melakuakan penghijauana pada bangunana
2. Mendesain taman
H.
Menciptakan
bangunan bebas hamtan (dapat digunakan semua umur)
Banguan yang baik
merupakan bangunan yang
dapat digunakan disegala usia baik anak-anak mauapun orang tua ,
selain itu diguanakan juga bagi orang yang cacat tubuh,orang sakit , maupun
orang dewasa yang sehat misalnya diberikan jalur bagi mereka yang menggunakan kursi roda .banyak hambatan bagi bangunan saat
ini yang tidak memperhatikan hal – hal tersebut antara
lain perbedaan tingi lantai
yang emnyusahkan orang yang sangat tua maupun anak- anak , taanda orientasi ruang kurang jelas, tidak ada kursi
untuk beristiarhata, dan masih banyak lagi .
Berikut ini adalaha prinsip –prinsip
banguanan diambil dari frick, heinz/widmer, petra. Membangun, membentuk,
menghuni. Yogyakarta: kanisius, 2006.halaman 51-53:
1.
Pilihlah perlengkapan yang bebas hambatan
jika biaya tidak lebih
mahal daripada pelrengkapan yang tidak bebeas hambatan .
2. Dalam gedung umum, hindarilah konstruksi tangga. Jika harus dibuat tangga, pilih tangga yang
lurus dilengkapi dengan jalan landai <8% atau lift.
3.
Lebar semua pintu harus memadai kebutuhan kursi roda (>80 cm)
4.
Sediakan cukup banyak
tempat yang ebbas
hambatan sehingga kursi roda
dapat dikemudikan dan dilangsir dengan mudah.
5.
Ukuran huruf pada tulisan informasi
harus jelas dibaca, pemasangannya setinggi mata
manusia , dengan penerangan yangs esuai
dengan kemampuan orang
yang melihatnya (juga
yang kemah penglihatannya)
6. Semua leemn pelayanan pada telepon umum,lift dan sebagainya harus
dipasang pada tinggi yang optimal
7.
Kamar mandi/ wc dibentuk sedemikian rupasehingga dapat digunakan sendiri oleh
pengguna kursi roda tanpa bantuan orang lain.
8. Pintu sorong dapat dibuka lebih mudah oleh pengguan kursi roda
dibandingkan dengan pintu sayap biasa.
DAFTAR PUSTAKA
Frick, Heinz. Dasar-dasar eko-arsitektur. Edisi ke-1.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1998.
Frick, Heinz. Arsitektur dan lingkungan. Yogyakarta :
Yayasan Kanisius, 1988
http://slendroo.blogspot.co.id/2011/10/ciri-ekologis-pada-gaya-arsitektur.html (diakses tanggal 21 september 2015)
https://arighudul.wordpress.com/2014/02/01/arsitektur-dan-lingkungan-ekologi-arsitektur-dan-bangunan-hemat-energi/ (diakses
tanggal 21 september 2015)
https://arighudul.wordpress.com/2013/10/12/arsitektur-berwawasan-lingkungan-arsitektur-ekologi/ (diakses tanggal 21 september 2015)
https://arighudul.wordpress.com/2013/10/12/arsitektur-berwawasan-lingkungan-arsitektur-ekologi/ (diakses tanggal 21 september 2015)
http://ubaid-boyand.blogspot.co.id/2011/09/arti-kata-ekologi-menurut-beberapa-ahli.html (diakses tanggal 21 september 2015)
http://adnaneternality.blogspot.co.id/2012/10/pengertian-ekologi-arsitektur.html (diakses tanggal 21 september 2015)
Ekologi Arsitektur
Reviewed by Unknown
on
09.08
Rating:
Tidak ada komentar: