TIPOLOGI ARSITEKTUR BALI UNTUK FUNGSI PAWONGAN
Apa itu TIPOLOGI ARSITEKTUR BALI?
Tipologi
berasal dari dua suku kata yaitu Tipo yang berarti
pengelompokan dan Logosyang mempunyai arti ilmu atau bidang
keilmuan. Jadi tipologi adalah ilmu yang mempelajari pengelompokan suatu
benda dan makhluk secara umum. Dalam ilmu arsitektur, tipologi
berarti ilmu yang mempelajari pengelompokkan bagunan. Jadi tipologi arsitektur
bali merupakan ilmu yang mempelajari tentang pengelompokkan bangunan yang ada
di bali.
Berdasarkan
jenis-jenis bangunan Bali, tipologi bangunan dibagi menjadi empat yaitu bangunan tempat tinggal (rumah) ,
tempat pemujaan, bangunan tempat musyawarah dan bangunan tempat penyimpanan.
Pada makalah ini kami akan membahas tentang BANGUNAN TEMPAT TINGGAL (PAWONGAN).
Apa itu pawongan?
Pawongan adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana dalam
ajaran agama Hindu. Pawongan yang sebenarnya memiliki arti yang sangat luas. Secara singkat pawongan adalah hubungan
manusia dengan manusia lainnya. Baik itu dalam bentuk perorangan antar
perorangan,perorangan dengan kelompok,atau pun kelompok dengan kelompok.
Pawongan tentu sangat penting keberadaannya. Menjaga Pawongan yang baik berarti menjaga hubungan yang
baik antara manusia dengan manusia lainnya. Jika hubungan antar manusia sudah
baik tentunya kita akan mendapatkan berbagai kemudahan di masyarakat. Mudah
memperoleh pertolongan, mudah dalam berkomunikasi, mudah dalam melakukan banyak
hal di dalam kehidupan sosial ini. Demikian banyak fungsi dari pawongan
tersebut namun pada intinya tetap pawongan merupakan jalan yang sangat penting
untuk kita tempuh sehingga dia termasuk dalam Tri Hita Karana.
Dalam kaitannya dengan bidang arsitektur bangunan yang
bersifat pawongan adalah bangunan yang fungsinya menampung segala bentuk
aktifitas manusia. Di mana pun manusia mendirikan tempat tinggal ia
akan membutuhkan bangunan yang bersifat pawongan ini.
Tipologi Rumah
Tempat Tinggal (PAWONGAN)
Tipologi
bangunan tradisional Bali umumnya disesuaikan dengan tingkat-tingkat golongan
utama, madia dan sederhana. Tembok penyengker (batas) pekaranagan , kori dan
lumbung dalam bangunan perumahan typologinya disesuaikan dengan tingkatan
perumahan dan fungsinya masing-masing.
Jenis banguan tempat tinggal menurut
tipologi Arsitektuer Tradisional Bali
Golongan Utama
· Astasari
Diklasifikasikan sebagai bangunan utama dalam
fungsinya sebagainya sanggah. Fungsinya untuk Bale Sumanggen (bangunan tempat
upacara adat, tamu dan tempat bekerja serbaguna) . Bentuk bangunan segi empat
panjang dengan luas bangunan sekitar 4m X 5m, tinggi lainya sekitar 0,60 m
dengan tiga atau empat anak tangga kearah natah. Dinding sebelah timur dan
selatan tertutup penuh, setengah tinngi pada sisi barat, dan pada sisi utara terbuka
kearah natah.
· Tiangsanga
Bangunan utama di perumahan utama. Bentuk dan
fungsi bangunan serupa dangan astasari, hanya saja jumlah tiangnya lebih banyak
yaitu sembilan. Penutup atap limasan dengan puncak dedeleg, penutup dengan
dengan alang-alang. Fungsinya utama bangunan ini adalah untuk Sumanggeng tetapi
dapat juga digunakan sebagai ruang tidur dengan tembok di tengah sebagai
pemisah antara ruang tidur dan ruang duduk.
· Sakaroras
Bentuk bangunan bujur sangkar dengan kontruksi atap
limasan berpuncak satu dengan jumlah tiang dua belas. Bangunan sakaroras juga
disebut juga Bale Murdha apabila hanya satu balai-balai yang mengikat empat
tiang dibagian tengah, disebut gunung rata apabila difungsikan sebagai
bale meten (ruang tidur) dengan dedeleg sebagai puncak atap.
Penyelesaian detail kontruksi bangunan sakaroras,
Tiangsanga dan Astari dihias dengan ornamen-ornamaen dekoratif.
Tiang-tiang dihias dengan kekupaken paduraksa tagok, caping, ulur lelengisan
ataupun diukir. Puncak atap bagian dalam ruangan dengan petaka atau dedeleg
juga dihiasi dengan lelengisan ataupun ukiran sendi tugeh pepindahan Garuda
Wisnu atau Singa Ambara Raja.
Golongan Madia
· Sakutus
Diklasifikasikan sebagai bangunan tunggaldengan
fungsi tunggal sebagai ruang tidur yang disebut bale meten. Bentuk bangunan
persegi panjang dengan delapan tiang, yang dirangakai menjadi empat-empat.
Kontruksi atap dengan system kampiyah bukan limas an difungsikan untuk
sirkulasi udara selain udara yang datang melalui celah antara atap dan kepala
tembok.
Dalam variasinya sakutus diberi atap tonjolan
di atas depan pintu. Lantai dari sakutus lebih tinggi dari bangunan lainnya
untuk estetika.
Golongan Sederhana
· Sakenem
Bangunan yang termasuk perumahan tergolong
sederhana bila bahan dan penyelesaian sederhana. Dapat pula digolongkan madia
bila ditinjau dari penyelesaian untuk sakenem yang dibangun dengan bahan dan
cara madia.
· Padma
Fungsi utamanya adalah untuk tempat pemujaan Tuhan
Yang Maha Esa. Bentuk yang lengkap, madia dan sederhana masing-masing disebut
dengan padmasana. Bentuk bangunan serupa dengan candi yang dikembangkan lengkap
dengan pepalihan. Bentuk dasar padmasana adalah bujur sangkar dengan tinggi 5m
dengan dimensi 3m X 3m. Bahan menngunakan batu alam.
· Gedong
Bentuknya serupa dengan tugu, hanya pada bagian
kepala terbuat dari kontruksi kayu degan bahan penutup atap berupa alang-alang,
ijuk ataupun bahan lainnya yang dapat disesuaikan dengan bentuk dan fungsinya.
· Meru
Bentuknya menonjolkan keindahan atap yang
bertingkat-tingkat yang disebut atap tumpang. Jumlah tumpang atap selalu
ganjil, meru tumpang telu, tumpang lima, tumpang pitu, tumpang songo, tumpang
sewelas sebagai tingkat tertinggi. Bentuk-bentuk Meru merupakan kontruksi
rangka diatas bebaturan (badan) merupakan kontruksi tahan gempa, dibandingkan
degan candi atau bentuk-bentuk bangunan pemujaan yang tinggi.
Konsep
pendekatan bangunan tradisional bali
1.
Pola Natah
Pola natah
yang juga merupakan pola yang membentuk core (pusat) secara bersama. Pola ini
biasanya juga disebut sebagai “pola papan catur”. Dimana suatu pekarangan
dibagi menjadi Sembilan bagian, dengan arah kajakangin (timur laut) sebagai
arah tutama pada kesembilan bagian tersebut . Dan arah tengah merupakan pusat
(poros) yang mengikat keseluruhan dari bangunan –bangunan yang ada pada satu
unit hunian tersebut. Daerah tengah (poros) tersebut diberi nama natah sehinnga
pola ini sering disebut sebagai pola natah. Adapun pembagian kesembilan arah
dalam pekarangan
2.Tri Angga
Bangunan
tradisional diatur dalam upacara agama. Bangunan , alam semesta dipandang
sebagai bhuwana agung hakekatnya. Bhuwana alit sama dengan bhuwa agung hanya
dengan skala yang berbeda. Dalam bangunan seperti bale-bale seperti :bale
meten, bale dangin, bale dauh, dan lain-lainya,dipandang sebgaia miniature dari
bhuwana agung dengan menampilkan tiga unsure: atma, sarira, tri kaya.
Unsur tersebut merupakan konsep
perwujutan bangunan perumahan tradisional
Bangunan pemenjaraan (suci), dapat
dipandang sebagai intinya atau atma perumahan.
Pekarangan, pelembangan dan segala
perwujudannya dapat dipandang sebagai sarira atau awak ,badan bangunan atau
fisik.
Pawongan (orang-orang yang tinggal)
dapat dipandang sebagai Tri Kaya.
Kemanunggalan ketiga unsure :
Pemerajaan atau tempat suci,Pelemahan dan Pawongan disebut sebagai “Tri Hita
karana”. Dus Tri Hita karana menjadi konsep perwujutan bangunan tradisional
yang dibagi atas tiga bagian:
Konsep
utama,madya,nista: Tria angga ini merupakan konsep dasar perwujudtan bale-bale
tradisional Bali (bangunan tradisional Bali).
Masyarakat
bali mempercayai bahwa “ketinggian” adalah untuk para dewa. Dunia tengah untuk
manusia dan’ kedalaman’ (dunia bawah)untuk roh-roh jahat. Hal ini wajar bagi
orang Bali yang hidup sangat dekat dengan alam untuk memandang’ alam dalam
arti’magis dan spiritual.
Sejak
dulu masyarakat Bali senang beranggapan tentang alamsemesta yang tentram membentang
dari surga ditas gunung menuju kekedalaman laut. Segala sesuatu dialam memiliki
arah, kedudukan dan tempat. Segala dianggap suci atau sacral dihubungkan dengan
ketinggian, gunung-gunung dan arah ke hulu melalui gunung Agung,gunung api atau
vulkano paling sacral dan tertinngi di Bali.
Semua
ancaman dan bahaya berasal dari kekuatan “bawah dunia “ samudra yang tak
terukur dan arah kehulu melalui laut. Kediaman manusia terlatak didunia
penengah yaitu daratan subur antara gunung-gunung dan laut. Tugas manusia
adalah mengupayakan keseimbangan dan harmoni antara dua kekuatan yang saling
bertolak belakang tersebut. Roh-roh suci (para dewa dan leluhur )yang
tinggal digunung-gunung dihormati melalui pemujaan dan ibadat sedangkan roh-roh
jahat (iblis dan penyihir) yang berdiam dilaut ditentramkan melalui
“pemurnian”.
Berdasarkan
kepercayaan ini masyarakat Bali mempertahankan filosofi dasar “Rwe-bhineda atau
Semara Ratih” berarti perdamaian dari kutub-kutub yang berbeda, elemen-elemen,
norma-norma atau nilai-nilai. Mereka selalu berusaha mencapai kesatuan anatar
Bhuwana Alit ( manusia-manusia atau individu, mikro-kosmos), yang akan membawa
kemoksa (kesempurnaan).
Filosofi
dasar lain yang tak kalah penting disebut “ Tri Hita Karana” yang berarti tiga
unsure kebaikan. Dasar dari filosofi ini adalah bahwa segala sesuatu
didunia mengandung tiga komponen
1.Atma ( jiwa)
2. sarira (badan fisik)
3. Tri Kaya (kekuatan atau kemampuan)
Konsep
dasar Tri Angga, yang berkaitan erat dengan desain dan perancanaan Arsitektur,
berasal dari Tri Hita Karana. Konsep Tri Angga membagi segala sesuatu menjadi
tiga komponenatau daerah yaitu: Nista (dasar<najis,kaki), madya (tengah,
netral, badan), utama (atas,murni,kepala). Dunia fisik, kehidupan fisik
kehidupan nyata dan waktu juga dianggap mengandung tiga komponen tersebut
misalnya : Hidrosfir-Litosfir-Atmosfir, laut-daratan-gunung, roh
jahat-manusia-dewa, masa lalu-masa kini-masa depan, dan sebagainya.
Tata Ruang Bangunan
Tradisional Bali ( Pawongan )
Ada aturan dalam membuat tempat tinggal pawongan,
dan ada Pantangan, di sekitarnya :
- Tidak boleh numbak burung ( Berpapasan dengan
gang )
- Di lingkupi oleh pekarangan rumah keluarga (
)
- Di apit oleh pekarangan keluarga lain ( Karang
apit )
- Di jatuhi cucuran atap dari rumah orang lain (
Karang kelebon amuk )
- Berada sebelah jalan umum dan berpapasan ( karang
negen )
Pola
bangunan tradisional bali
Arsitektur tradisional Bali
sebagi hasil karya masyarakat yang mengandung unsur – unsur normative, tampak
dalam fungsi bangunan terhadap kelompok organisasi kemasysrakatan ( desa /
banjar ) atau kelompok organisasi geneologis ( kelompok warga ,pededian /
paibon.), Berdasarkan itu maka terbagi menjadi 3 bagian , yaitu :
·
Bangunan yang digunakan sebagai tempat sembahyang ( Pura,
Sanggal, Pemerajah )
·
Bangunan untuk tempat tinggal
( Grya, Jero, Puri, Umah )
·
Bangunan yang digunakan sebagai tempat perrtemuan umum (
Balai, Wantilan, Balai Banjar )
Pengelompokan bangunan menjadi 3 jenis di hubungkan
dengan hakikat manusia sebagai mahluk tuhan dan mahluk social, yang berhubunagn
secara harmonis.
Konsep keseimbangan kekuatan positif dan negatif di
dalam Lontar Civa tatwapurana ada istilah Bhutaya, Manusya, Dewaya. Kekuatan
ala mini dapat berubah menjadi kekuatan positif – negatif. Buta ( sebagai
pemusnah ),Dewa ( sebagai pelindung ). konsep ini digunakan dalam struktur
bangunan yang berpegang pada penghuninya. Penempatan, penggunaan, dan
pembuatan bangunan akan memberikan rasa tentram, rukun, dan makmur pada
penghuninya, dan sebaliknya dapat membuat sengsara pemiliknya, selain itu
konsep Luhur Teben ( huku hilir ), Meral – Propan, Ala – Ayu ( baik – buruk,
nista, madya – utama ) utpati, ashiti, Pralina, juga menjadi konsep
pertimbangan dalam mendirikan sebuah bangunan.
·
Bangunan
Tempat Tinggal.( Pawongan )
Tempat tinggal ini berdasarkan status social adat
istiadat Bali yang di sebut system : Kewangsaan. Hal ini dapat dibedakan
menjadi 4 jenis , yaitu :
a. Griya tempat tinggal dari wanga brahmana..
b. Jero tempat tinggal wangsa Khasatria.
c.Puri wilayah tempat tinggal raja dan kerabatnya.
d. Umah tempat tinggal golongan Sapta Sadma, yaitu
Pasek Beudesa, Kebagan, Gadung,
Pande, Senggu, dan sebagainya.
a.
Griya
& Jero
b.
Puri
Puri di pulau Bali adalah nama sebutan untuk tempat tinggal bangsawan Bali, khususnya mereka yang masih
merupakan keluarga dekat dari raja-raja Bali. Berdasarkan sistem pembagian
triwangsa atau kasta, maka puri ditempati oleh bangsawan
berwangsa ksatria.
Puri-puri di Bali dipimpin oleh seorang keturunan raja, yang umumnya
dipilih oleh lembaga kekerabatan puri. Pemimpin puri yang umumnya sekaligus
pemimpin lembaga kekerabatan puri, biasanya disebut sebagai Penglingsir atau
Pemucuk. Para keturunan raja tersebut dapat dikenali melalui gelar yang ada pada nama mereka, misalnya Ida I Gusti,
Cokorda, Anak Agung Ngurah, Dewa Agung, Ratu Agung, Ratu Bagus dan lain-lain
untuk pria; serta Cokorda Istri, Anak Agung Istri, Dewa Ayu, dan lain-lain
untuk wanita.
Secara etimologis, kata puri
sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sanskerta (-pur, -puri,
-pura, -puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota
berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangan
pemakaiannya di Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat
pemujaan tuhan; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat
tinggal para raja dan bangsawan. Saat ini kata puri dapat dipadankan dengan
kata keraton atau kata pura dalam Bahasa Jawa, misalkan Pura Mangkunagaran. Beberapa puri
dahulunya juga berperan sebagai benteng strategis untuk pertahanan kerajaan.
Daftar puri dan penglingsirnya
Denpasar & Badung
- Puri Agung
Denpasar (Puri Satria): Ida Cokorda Ngurah Jambe Pemecutan, SH (Ida
Cokorda Denpasar IX)
- Catur Agung
"Puri Agung Denpasar":
- Puri Ukiran Pemecutan
- Puri Kaleran Kawan
- Puri Tegal Jematang
- Puri Oka
- Puri Dangin
- Puri Batur
- Puri Belaluan
Titih
- Puri Tegeh
Titih: AA Putu Oka Wijaya
- Puri Jambe
- Puri Agung
Pemecutan: AA Ngurah Manik Parasara (Ida Cokorde Pemecutan XI)
- Puri Agung
Kesiman: AA Ngr Gede Kusuma Wardhana
- Puri Jero
Kuta: Dr AA Ngr Silop
- Puri Sibang (Abiansemal): AA Ngr Oka Suralaga
- Puri Ngurah Sibangkaja: I Gst Ngr Ag Watusila
- Puri Agung Pohmanis (Ksatria Sukahet): Dr. Ida I Dewa Made
Tjandranegara
Mengwi
- Puri Agung
Mengwi: Anak Agung Gede Agung
- Puri Gede
Abiansemal
- Puri Anyar
- Puri Gerana
Selat
- Puri Mayun
- Puri Kapal
Muncan: Anak Agung Gde Muncana
- Puri Kapal
Kaleran : Anak Agung Ngurah Agung
- Puri Kamasan
(Sibang), (Sempidi)
- Puri
Banyuning (Bongkasa)
- Jero Gelgel
di Mengwitani (Arya Kenceng Tegeh Kori): I Gusti Ngurah Agung Made
Suardita (Agung Leo)
- Puri Gede Pupuan
di Pupuan, Mengwitani (Anglurah Mengwi, pendiri Kerajaan Mengwi): Anak
Agung Ngurah Maruta
Tabanan
- Puri Agung Tabanan: Ida Cokorda
Anglurah Tabanan XXIV (sebelum mabiseka bernama I Gusti Ngurah Rupawan).
- Puri Dangin Tabanan: I Gusti Ngurah Agung
- Puri Denpasar: I Gusti Ngurah Raka.
- Puri Kaleran: I Gusti Ngurah Gede Agung.
- Puri Anom Tabanan: I Gusti
Ngurah Raka Wiratma
- Puri Anyar Tabanan: I Gusti Ngurah Bagus
- Puri Gede Kerambitan: I Gst Ngr Ketut Dharma Putra, (penyeledi
Anglurah Kurambitan)
- Puri Anyar Kerambitan: AA Ngr Rai Giri Gunadi
- Puri
Kediri:I Gusti Ngurah Oka
- Jero Subamia : I Gusti Gede Putra Wirasana
- Jero Jambe Mergan :I Gusti Agung Putu Sudiarta
- Puri Uratmara Marga: Anak Agung Raka
- Puri Gede Marga: I Gusti Ngurah
- Puri Taman Marga: I Gusti Ngurah
- Puri Perean: I Gusti Ngurah
- Puri Belayu: I Gusti Ngurah
- Jero Kukuh Denbantas: I Gusti Ag Putu Sudjana
Gianyar
- Puri Agung Payangan : Tjokorda Gde Agung
- Puri Agung Gianyar : Dr Ida A A Gede Agung
- Puri Agung Ubud (Puri Saren) : Cokorda Gde Agung Suyasa
- Puri Agung Peliatan : Cokorda Gde Putra Nindia (perwakilan semeton
tengah)
- Puri Keramas : AA Raka Mundra
- Puri Medahan
- Puri Agung Sukawati : AA Gede Oka
- Puri Agung Singapadu : Cokorda Gde Putra Kaya Trisna
- Puri Agung TegalTamu : I Gusti Ngurah Pertu Agung
- Puri Agung Negara : Tjokorda Gde Atmaja
- Puri Kaleran Negara : AA Gede Putra Negara
- Puri Agung Lebih
- Puri Kedisan Tegallalang : I Gusti Ngurah Pulaki
- Puri Pejeng : Cokorda Gede Putra Dalem Pemayun (Puri Agung
Pejeng)
- Puri Agung Blahbatuh : Tjokorda Anom Oka
- Puri Ageng Blahbatuh : I Gusti Ngurah Djelantik
- Jero Karang Kasap : I Gusti Ngurah Made Utama
- Puri Saren Kangin Tegallalang : Tjokorda Gde Agung
- Puri Saren Kauh Tegallalang : A A Gde Oka Gambir
- Puri Kelodan Tegallalang : A A Gde Raka Partha
- Puri Ageng Bitera :
- Puri Ageng Abianbase : A A Gde Raka Piyadnya
- Puri Ageng Tulikup :
- Puri Ageng Batuan :
- Puri Ageng Siangan : A A Gde Ngurah Mataram
- Puri Ageng Beng :
- Puri Ageng Serongga :
- Puri Wanayu :
- Puri Bedulu :
Karangasem
- Puri Agung Karangasem : AA Gde Putra Agung
- Puri Kelodan : I Gusti Agung Putu Agung
- Puri Kaleran : AA Arya Mataram
- Puri Kanginan :
- Puri Kauhan: Ratu Agung Krishna Bagoes Oka
- Puri Batu Aya: Ida I Dewa Gede Batuaya
- Puri Celuk Negara: I Gusti Agung Ngurah Agung
- Puri Kaler Kauh: dr I Gusti Bagus Ngurah
Klungkung
- Puri Agung Klungkung : Cokorda Rai (Ida Dalem Semaraputra)
- Puri Anyar Klungkung : Anak Agung Gde Indra Putra Dalem
- Puri Agung Nyalian : Anak Agung Gde Rai
- Puri Agung Ksatria Sukahet (Denbencingah): Ida Dwagung Ngurah Swastha
- Puri Agung Kusamba : Ida Anak Agung Gde Mayun Saren
- Puri Kaleran Kusamba : Ida Anak Agung Gde Mayun
Buleleng
- Puri Manggala Lovina : Anak Agung Ngurah Ugrasena
- Puri Anyar Sukasada : AA Ngr Yudana,
- Puri Kanginan Singaraja : AA Ngr Parwatha Pandji
- Puri Bangkang : AA Sugandi
- Puri Tukad Mungga : AA Ngr Mudipta
- Puri Ayodya (Kalibukbuk): AA Ngr Sentanu
- Puri Blahbatuh: AA Ngr Jlantik
- Puri Sukasada: I Gusti Nyoman Raka, (I Gusti Ngurah Komang Parmadi
adalah keturunan beliau dan sekarang tinggal di Abian Puri Sukasada)
Bangli
- Puri Bangli: AA Ngurah Agung
Jembrana
- Puri Bakungan (1400-1450 M): Ki Ageng Malele Cengkrong atau Sri Ageng
Malele Cengkrong bergelar I Gusti Ngurah Bakungan (putung), parhyangan
suci di Pura Candi Bakungan disungsun oleh keluarga Puri Pancoran
- Puri Pacangakan (1400-1450 M): Ki Ageng Mekel Bang bergelar I Gusti
Ngurah Pacangakan (putung), parhyangan suci di Pura Ageng Pacangakan
disungsun oleh keluarga Puri Pancoran
- Puri Pancoran (1470 M): Ki Ageng Malelo Bang bergelar I Gusti Ngurah
Pancoran
- Puri Agung Negara : Anak Agung Gde Agung Sutedja
- Puri Pacekan : I gusti agung gede pacekan
Pengertian Puri
Puri berasal dari
bahasa Sanskerta yang diserap ke dalam bahasa Jawa Kuno yang berarti benteng,
istana berbenteng, kota istana atau tempat persemayaman raja Namun dalam bahasa
Jawa Kuno dikenal juga istilah pura yang berasal dari bahasa Sanskerta. Agaknya
pura memiliki pengertian lebih luas daripada puri. Pura berarti kota, ibu kota,
kerajaan, istana raja dan berarti halangan
Geertz menyatakan
bahwa puri sebenarnya hampir sama dengan pura. Jika pura adalah tempat
persemayaman dewa dalam wujud abstrak, puri adalah tempat persemayaman raja
yang merupakan penjelamaan dewa yang meng-ejowantah pada diri manusia. Dengan
demikian puri adalah “bangunan suci” dalam konsep religi. Kesimpulan Greetz ini
didasarkan kenyataan bahwa raja dalam sistem kerajaan di Bali adalah seorang
yang dihormati dan dimuliakan seluruh rakyatnya, sehingga ia tidak boleh tampil
sembarangan di depan umum. Demikian pula puri tempat tinggal sang raja,
dianggap sebagai bangunan yang pantas dihormati atau bahkan dukuduskan. Pada
daerah tertentu, di puri
Puri dapat
dibedakan menjadi tiga macam. Pertama, Puri Dewa Agung yang hanya ada satu,
sebagai tempat persemayaman Dewa Agung, "penguasa seluruh Bali dan
Lombok" di Klungkung. Puri ini dinamakan juga Puri Smarapura atau Puri
Klungkung. Kedua, adalah Puri Agung atau Puri Gede, yaitu tempat tinggal
penguasa yang memegang pemerintahan (raja) di suatu kerajaan, misalnya Puri
Agung Gianyar, Puri Gede Karangasem, Puri Agung Mengwi, dan lain-lain. Ketiga,
puri tempat tinggal di tengah masyarakat, namun bukan tempat tinggal pemegang
pemerintahan. Bangunan seperti itu disebut puri saja atau jero. Puri atau jero
adalah tempat tinggal para kaum bangsawan yang terpisah dari kompleks puri
agung milik raja.
TIPOLOGI ARSITEKTUR BALI UNTUK FUNGSI PAWONGAN
Reviewed by Unknown
on
16.57
Rating:
Tidak ada komentar: